I. Pendahuluan
Rancangan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU POLRI) dan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi isu sentral dalam dinamika legislasi nasional 2024–2025. Kedua RUU tersebut dirancang dengan dalih memperkuat penegakan hukum, mempercepat proses peradilan, serta modernisasi kelembagaan kepolisian.
Namun, dari perspektif masyarakat adat, dua RUU ini bukan hanya berpotensi mengabaikan hak konstitusional, tetapi juga memperbesar risiko represi dan kriminalisasi. Hal ini relevan mengingat masyarakat adat kerap berada dalam posisi rentan dalam relasi kuasa negara dan korporasi.
II. Kerangka Teoritis dan Hukum
Konstitusi dan Hukum Nasional
UUD 1945 Pasal 18B ayat (2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat…”
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang mengakui hutan adat sebagai bagian dari wilayah adat
Hukum Internasional
Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP)
ILO Convention No. 169 (walau belum diratifikasi, menjadi acuan moral global)
III. Kritik Terhadap RUU POLRI
1. Ekspansi Wewenang dan Fungsi Intelijen
RUU POLRI memperluas tugas Polri di luar penegakan hukum ke fungsi intelijen dan keamanan siber. Fungsi ini tidak dibarengi dengan mekanisme akuntabilitas dan pengawasan independen.
Implikasi bagi masyarakat adat:
Aktivitas tradisional seperti ritual, upacara adat, atau musyawarah dapat disalahartikan sebagai “perkumpulan liar” atau “radikal.”
Pemantauan digital terhadap komunitas adat dan aktivis pendamping melanggar privasi dan hak berekspresi.
2. Perpanjangan Masa Dinas
Pasal tentang masa dinas hingga 65 tahun berpotensi memperkuat dominasi elite institusi dan menghambat regenerasi yang sehat. Hal ini bisa memperpanjang pola pendekatan keamanan terhadap konflik agraria dan adat.
IV. Kritik Terhadap RUU KUHAP
1. Penangkapan 1×24 Jam Tanpa Surat Perintah
Pasal ini bertentangan dengan prinsip due process of law dan habeas corpus. Secara teori, penangkapan tanpa surat perintah harus dibatasi pada kondisi luar biasa. Namun, frasa “kebutuhan mendesak” dalam RUU ini sangat lentur dan rawan disalahgunakan.
Konteks masyarakat adat:
Praktik kriminalisasi terhadap tokoh adat akan semakin masif karena dasar penangkapan bisa dibuat secara sepihak.
Aktivitas sah seperti mempertahankan tanah adat atau menolak izin perusahaan dapat dijustifikasi sebagai tindak pidana.
2. Minimnya Pengakuan terhadap Hukum Adat
RUU KUHAP tidak memberikan tempat bagi sistem peradilan adat sebagai mekanisme alternatif penyelesaian konflik. Padahal dalam banyak komunitas, hukum adat lebih efektif, cepat, dan berkeadilan substantif.
V. Dampak Struktural terhadap Masyarakat Adat
Kriminalisasi Struktural
Pola-pola pemaksaan hukum negara atas komunitas adat berpotensi menggeser cara hidup, mata pencaharian, dan nilai-nilai kolektif.
Ketimpangan Akses Keadilan
Mayoritas masyarakat adat tidak memiliki akses terhadap pendampingan hukum yang memadai. Dalam kondisi ini, penambahan wewenang aparat tanpa pengawasan hanya memperparah ketimpangan.
Pelanggaran Hak Asasi
Potensi pelanggaran HAM akan meningkat: dari salah tangkap, intimidasi, hingga penyiksaan dalam proses penangkapan dan penyidikan.
VI. Rekomendasi
Untuk Legislator dan Pemerintah
Menunda pengesahan RUU POLRI dan KUHAP hingga dilakukan konsultasi publik secara menyeluruh, termasuk melibatkan komunitas adat.
Menghapus pasal-pasal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM dan konstitusi, khususnya terkait penangkapan tanpa surat perintah dan perluasan fungsi intelijen.
Untuk Masyarakat Sipil dan Media
Menggalang kampanye sosial untuk menyuarakan potensi bahaya dua RUU ini melalui media sosial, aksi damai, dan forum diskusi.
Memproduksi narasi tandingan berbasis nilai-nilai adat, lingkungan, dan hak konstitusional.
Untuk Komunitas Adat Melakukan konsolidasi internal untuk memahami isi dan dampak RUU.
Mendokumentasikan kasus kriminalisasi dan mendorong pendampingan hukum kolektif.
VII. Penutup
RUU POLRI dan KUHAP berpotensi mengubah wajah penegakan hukum Indonesia. Dari perspektif masyarakat adat, dua RUU ini berisiko besar menciptakan represi sah melalui hukum negara, mereduksi hak kolektif atas tanah dan budaya, serta melemahkan posisi masyarakat adat di tengah konflik agraria dan lingkungan yang belum terselesaikan.
Reformasi hukum tidak boleh menjadi legitimasi penindasan baru..
Disusun oleh: BERNADUS, KETUA UMUM DEWAN RAKYAT DAYAK