Sidoarjo https://mediarestorasiindonesia.com Momentum ketika kita merayakan dirgahayu kemerdekaan selalu timbul pertanyaan mendalam di dasar hati, benarkah kita sudah merdeka seutuhnya? Keresahan kehidupan berbangsa selama ini menjadi cermin nyata bahwa kemerdekaan itu lebih merupakan acara seremonial.
Hakikat Kemerdekaan
Sebagai bangsa, kemandirian diri sering tidak bisa kita tunjukkan. Apa yang menjadi prinsip-prinsip kehidupan berbangsa kita bahkan, disadari atau tidak, lebih banyak ditentukan bukan oleh diri kita sendiri.
Kita hanya merdeka dalam pengertian upacara. Sebagai bangsa merdeka, kita justru lebih banyak melahirkan manusia dengan jiwa terpenjara. Manusia yang terbelenggu oleh penjajahan gaya baru, baik oleh elite bangsa sendiri maupun bangsa lain.
Itulah kondisi sepanjang kemerdekaan selama ini.
Begitu sering diperingati sekaligus kita abaikan makna hakikinya dalam kehidupan sehari-hari. Kemerdekaan tidak menjelma dan menjiwai kehidupan sehari-hari. Demi kepentingan jangka pendek, sebagaimana dicontohkan dalam teladan para elit, kemerdekaan bahkan sering digadaikan dalam belenggu kenikmatan sesaat.
Bangsa merdeka tidak hanya merdeka dari belenggu penjajahan, tetapi merdeka sejati ketika mampu menentukan masa depannya tanpa tergantung kekuatan lain.
Bangsa ini memang sudah merdeka sebagai bangsa, tetapi belum merdeka dari ketergantungan pada kekuatan korporasi yang mendikte cara berkehidupan, berpikir, bertindak, dan bernalar.
Bangsa ini selalu dikendalikan kekuatan itu yang mengakibatkan orientasi bangsa hanya mencari hal-hal yang memuaskan keinginan.
Merdeka, menurut para pendiri Republik, dimaksudkan sebagai sebuah kebebasan atas penindasan dan perbudakan dari kolonialisme.
Kalau makna kemerdekaan ialah berakhirnya sejarah kolonialisme yang ditandai dengan sifat eksploitasi manusia, yakni manusia hanya dijadikan alat produksi semata, berarti kita sekarang belum merdeka seutuhnya.
Kita baru merdeka dalam tahap simbol formal bahwa Indonesia tidak dijajah negara lain secara fisik. Kita belum merdeka dalam arti yang digariskan founding fathers.
Faktanya ialah sebagian besar rakyat kecil masih sering berada dibawah ketidakberdayaan dan ketidakmampuan karena kolaborasi antara korporasi dan birokrat serta didukung oleh kebijakan politik, kolaborasi antara penguasa dan korporasi semestinya membawa manfaat pemberdayaan SDA yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan seharusnya diolah demi kesejahteraan rakyat nyatanya hanya digunakan untuk kemakmuran sebagian kecil orang. Sebagian kecil orang itu mungkin sudah merasa merdeka, tetapi sebagian besar masyarakat belum merasakan kemerdekaan dalam arti demikian.
Dengan demikian, refleksi kemerdekaan seharusnya diletakkan dalam sebuah pertanyaan besar, sejauh mana bangsa ini mempertanyakan kembali cita-cita kemerdekaan yang mendasar.
Kita harus bisa menjawab pertanyaan, apakah kemerdekaan adalah situasi ketika kita sebagai bangsa sebenarnya tidak lebih dari sebagai kaum termajinalkan di negeri sendiri’? Apakah kemerdekaan adalah hilangnya kebebasan untuk menentukan hari depannya sendiri?
Orientasi Kemandirian
Bangsa ini semakin lama semakin kehilangan orientasi dasar menjadi bangsa yang memiliki kemandirian dalam menentukan masa depannya. Hari depan kita semakin tidak menentu karena rakyat miskin tetap miskin. Realitas tersebut tidak membuat kita sebagai bangsa tergugah.
Kemerdekaan yang selama ini diharapkan memberi ruang bagi ekspresi kebebasan rakyat dari eksploitasi penjajahan-secara politik, hukum, sosial, maupun ekonomi–realitasnya belum sepenuhnya demikian.
Kenyataan itulah yang membuat bangsa ini semakin tak berdaya menghadapi tata dunia yang tidak lagi mengenal belas kasih terhadap rakyat.
Jumlah kaum miskin di negara berkembang terus meningkat karena proses pemiskinan itu terjadi melalui pola-pola yang halus dan sistematis. Salah satu cara utamanya ialah dengan menciptakan ketergantungan kepada sistem ekonomi global.
Aktivitas kehidupan dalam mengisi kemerdekaan sering terbelenggu pada upacara yang penuh dengan simbol belaka. Itulah yang membuat bangsa ini tidak mampu lagi memaknai arti kemerdekaan yang paling subtansial.
Cita-cita kemerdekaan sirna bila bangsa ini tidak berani berubah menjadi `Jati Diri’. Bangsa.
Akan tetapi, jati diri itu terkubur karena elite politik lebih suka berkompromi dengan para pemilik modal besar daripada dengan rakyat. Itulah yang membuat orientasi dasar kemanusiaan dan keadilan tidak berkembang karena pendidikan hanya untuk menciptakan manusia pragmatis.
Polemik itu tidak mampu menjadi pemompa semangat untuk memicu daya cipta untuk mengubah ketidakberdayaan menjadi keberdayaan. Itu terjadi karena kita, sebagai bangsa, miskin cita-cita dan cinta.
Maka lihatlah, semakin hari negeri ini mulai kehilangan politisi yang cinta rakyatnya, pejabat yang setia mendampingi masyarakatnya, agamawan yang bijak kepada umatnya, intelektual yang loyal terhadap publiknya, dan korporasi yang memberikan cinta kepada pasarnya.
Negeri ini kehilangan semangat para pahlawan yang setia mengorbankan harta benda dan nyawa mereka untuk kemandirian bangsa. Negeri ini kehilangan semangat para pahlawan yang setia mengorbankan harta benda dan nyawa mereka untuk kemandirian bangsa.
Merdeka adalah sebuah kata yang sering kita dengar dan kita sebutkan, bahkan mungkin kita lafalkan, sering kita dengungkan dalam keseharian.
Namun kata itu hanya sekedar kata tanpa makna. Pernahkah kita tahu apa itu Merdeka dalam arti yang sesungguhnya? Merdeka mungkin saja kita artikan berbeda-beda dalam kehidupan kita. Semakin penting suatu peristiwa, maka akan semakin tinggi pula nilai simbolik yang terkandung di dalamnya
Pada jaman perjuangan, kata Merdeka begitu dikobarkan dan didambakan oleh seluruh lapisan masyarakat dan bangsa kita. Merdeka pada masa itu adalah dalam arti terlepas dari belenggu cengkeraman penjajah. Melepaskan diri dari penjajahan. Menjadi sebuah Negara yang mandiri dan berdaulat.
Pada masa itu merdeka adalah kata yang sangat membakar semangat dan penuh makna. Merdeka adalah sebuah cita-cita yang luhur. Merdeka adalah sebuah tujuan hidup. Bahkan pendahulu kita mempunyai semboyan yang sangat popular di kalangan masyarakat kita yaitu : Merdeka atau Mati. Kata Merdeka disepadankan dan dipertaruhkan dengan nyawa.
Jaman sekarang, pada masa kita kini, pada era globalisasi, apakah kata merdeka masih mempunyai nilai yang sama dengan jaman perjuangan dahulu yaitu disepadankan dengan nyawa kita sebagai taruhannya? Apakah kita masih memperjuangkan kata merdeka dalam kehidupan kita sehari-hari?
Apakah masih penting sebuah kata Merdeka tertanam dan didengungkan di benak kita? Untuk apa kemerdekaan itu sesungguhnya? Bagi siapa kemerdekaan itu diperuntukkan? Siapakah yang berhak untuk Merdeka? Dan masih banyak pertanyaan yang berkaitan dengan makna kata Merdeka.
Namun dalam usia yang sudah sedemikian “matang” bangsa Indonesia disadari atau tidak, masih terus saja berada dalam situasi “fluktuatif”, bahkan aneka problematika bangsa justru menjadi faktor penghambat utama kelancaran proses dalam mengisi nilai-nilai kemerdekaan, seperti problematika pengangguran, angka kemiskinan masih tinggi meski klaim pemerintah menurun, Biaya pendidikan masih mahal.
Semoga mementum dirgahayu ke-78 tahun 2023 ini bangsa Indonesia kembali ke jati diri nya sehingga rasa nasionalisme itu tumbuh di jiwa-jiwa para pemimpin bangsa ini dengan Ridha Allah maha membolak-balikkan hati, Aamiin Ya Rabbal Alamiin.
Oleh : Iskandar Laka.
Ketua Dewan Pembina LBH Fajar Panca Yudha & Penasihat Hukum Media Restorasi Indonesia.